Sabtu, 17 April 2010

Kaderisasi, Sebuah Kebutuhan - Komunitas ITB dan Peradaban Indonesia

ITB atau Institut Teknologi Bandung adalah sebuah nama atau identitas perguruan tinggi atau universitas, yang apabila diartikan secara luas, maka bisa juga berarti sebuah komunitas kecil-komunitas kreatif minor, miniatur peradaban Indonesia yang memiliki aktivitas khusus dan jelas, pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, Pemahaman ini tidak boleh dan tidak bisa diartikan dengan kecenderungan reduksionistik, bahwa ITB hanyalah sebuah lembaga yang melahirkan orang- orang pintar dengan spesifikasi khusus, untuk kemudian terjun ke masyarakat dalam bentuk konkretnya bekerja di industri atau dunia kerja. Perguruan tinggi bukanlah tempat training semata, apalagi pabrik yang mengenal istilah produk gagal atau berhasil. Suatu universitas yang hanya menghasilkan orang- orang pintar lama kelamaan akan menjadi steril, ia tidak memiliki dasar ilmiah serta karakter yang kuat, dan mau tidak mau, universitas semacam ini hanya akan jatuh menjadi medioker.


Universitas adalah sebuah peradaban kecil, yang memiliki ciri khas khusus, yaitu budaya ilmiah. Budaya ini terbentuk dari berbagai proses interaksi, aktivitas yang terjadi berupa perkuliahan, diskusi, praktikum di laboratorium, bahkan olahraga dan seni, hingga berbagai aktivitas lain yang memang sengaja dibentukkan kepada orang- orang yang terlibat di dalamnya.

Yang diwariskan oleh sebuah universitas kepada generasi yang akan datang adalah nilai- nilai budaya. Budaya adalah sebuah hasil budidaya- proses yang terjadi secara terus menerus dan berkelanjutan sebagai kelangsungan dari sebuah kebiasaan-, lewat universitas yang demikian ini, kita bisa membangun budaya bangsa Indonesia. Budaya disini adalah sebuah sari kata dari berbagai makna kata yang bisa berupa berpikir ilmiah, etos kerja tinggi, dedikasi terhadap tugas, loyalitas terhadap tujuan, berpikir terbuka dan pembelajar, integritas karakter, dan etika pergaulan.Oleh karena itu sangat wajar manakala nilai- nilai yang sifatnya merupakan pembentuk dan penjaga modal sosial sebuah masyarakat, sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat kecil universitas. Dalam konteksnya sebagai sebuah universitas, maka ITB tentunya juga memiliki budaya- budaya khusus yang menjadi karakter utama, pembentuk nilai yang akan dibawa oleh mahasiswa maupun seluruh civitas akademika yang terlibat dalam proses keseharian ITB, dalam segala aspeknya, itulah yang disebut dengan identitas khas ITB.

Kiprah ITB kita bagi dalam tiga bagian, yaitu dosen, mahasiswa, dan alumninya, atau bisa secara umum, civitas akademika. Tentunya kontribusi ITB bukan hanya setelah menjadi alumni, namun ketika masih menjadi mahasiswa pun, kontribusi tersebut dapat dilakukan dengan leluasa. Dosen yang notabene juga alumni ITB memiliki informasi, pengetahuan, dan kompetensi yang standarnya internasional, maka sangatlah wajar manakala kontribusinya lebih spesifik, konkret, jangka panjang, serta lebih bersifat individual, dengan tidak menampik kemungkinan adanya kontribusi kolektif. Diperlukan sebuah pengaturan pengetahuan terbaik, mengingat ITB adalah pusat pengetahuan yang diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat. Lalu, bagaimana dengan mahasiswanya ? Mahasiswa memiliki ide segar, semangat membara, serta jiwa muda yang senantiasa bertanya dan mencari tahu, untuk kemudian dijawab dengan aksi nyata. Yang tidak boleh dinafikan adalah, bahwa pengetahuan dan informasi akademik yang didapatkan saat di kampus, harus diterjemahkan kembali untuk diterapkan di luar. Kekuatan lain dari ITB adalah informasi yang melimpah. Thomas Friedman berujar bahwa dunia bagaikan golden straitjacket yang terhubung satu sama lain. Dunia menjadi tanpa batas. Batas-batas geografis dan regional menjadi tidak relevan. Akibatnya, aliran informasi, modal, kepentingan, menjadi sangat mudah dilakukan dengan cepat, tepat, dan efektif. Jadi, ilmu pengetahuan akademik yang didapatkan di ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, dan diskusi grup sebenarnya adalah sebuah alat untuk mewujudkan ide- ide yang sudah tersembul sebelumnya di benak mahasiswa. Ditambah informasi yang berkelimpahan di ITB, mahasiswa memiliki kesempatan untuk mewujudkan gagasan dan ambisinya dengan sangat leluasa.

Titik kritis mahasiswa terletak pada orientasi dan karakter. Kenapa keduanya ?
Orientasi adalah kerangka tujuan yang akan menunjukkan jalan, ke arah mana dia akan mempergunakan segala macam informasi, pengetahuan, dan pengalaman yang sedang, akan, dan telah dia dapatkan selama di ITB. Begitu juga, apakah orientasi hidupnya hanya semata untuk kepentingan dia sendiri tanpa memperhitungkan kontribusi untuk masyarakatnya, atau dia justru belajar dalam rangka berkontribusi untuk bangsanya, Indonesia? Tentu ada perbedaan jelas antara keduanya, ini erat kaitannya dengan titik kritis kedua, yaitu karakter. Karakter adalah identitas personal, Bangsa Indonesia akan memiliki karakter kuat manakala disokong oleh pemuda yang memiliki kejelasan dan ketegasan watak. Karakter ini sangat khas dan personal, namun sekali lagi, tanpa konstruksi budaya yang mendukung, mahasiswa ITB bisa menjadi orang- orang yang sama sekali tidak jelas karakter, tanpa kejelasan karakter, mustahil seseorang mampu memegang prinsip dalam hidupnya.

Hingga titik ini, kita akan mulai melihat pentingnya interaksi antar mahasiswa, komunikasi antar displin ilmu, diskusi lintas ideologi, hingga kerjasama antar kompetensi dalam kerangka yang sama. Pembentukan karakter serta sinergisasi orientasi, dua domain besar yang menjadi jawaban, kenapa penurunan nilai dalam aktivitas kemahasiswaan mutlak diperlukan. Karena mahasiswa lah- ITB khususnya- salah satu unsur penting yang mewarnai Bangsa Indonesia, sekarang saat di kampus, atau kedepan nanti setelah lulus, maka penegasan orientasi dan karakter itu diinkubasi di kampus Ganesha, ITB.


dikutip dari galih prasetya utama ; www.goodreads.com

1 komentar:

  1. Old article eh ;))

    I wrote this text, as a part of introspection, for all of us, when we were student. Some youthfulness can be energetic and also unaware of what we thought and said.

    The wisdom of youth, it should be constructive, as long as we understand it collectively.

    BalasHapus